Thursday, 11 December 2014

Gua Jomblang, Cahaya Surga, Hutan Purba

This picture was taken in late April 2014 (Gua Jomblang)

Tujuan utama trip kali ini adalah gua Jomblang yang terletak di wilayah Gunung Kidul, Yogyakarta. Maaf posting-annya telat (anggep aja pembacanya banyak! hahaha), tapi kemalasan menulis di blog sangat posesif dalam beberapa bulan terakhir :s.

Semoga foto kece di gua Jomblang ini menjadi tanda positif (ciyee positif hamil #ups), bahwa saya akan menjadi blogger rajin hahaha.

Saya akan cerita sedikit soal trip Yogyakarta kali ini. Sepert biasa, saya yang menjadi juri kunci mulai dari menghasut orang-orang buat ikutan sampai jelajahin mbah Google buat nyari apa aja yang dibutuhin. Hasilnya, lahirlah foto di atas alias sampai di Jomblang! hahahaa.

Pemandangan di dalam gua ini kereeen banget kakak-kakaknya :D. Contohnya, cahaya yang ada di foto di atas atau yang biasa disebut 'cahaya surga', bikin hasil foto jadi cekeeep hahaha. Buat masuk ke dalam gua ini, kita harus turun pakai tali temali. Setelah sukses mendarat bakal ada pemandangan yang gak kalah kece yaitu 'hutan purba', dan konon katanya tanaman yang ada di sini udah gak ada di atas tanah (di luar gua).


Hutan Purba

Setelah itu kita harus jalan selama beberapa menit sebelum sampai di bawah 'cahaya surga'. Buat yang tertarik, pastiin sampai di dalam gua sebelum jam 12.00 - 13.00 supaya cahaya mataharinya masih ada. Buat keamanan sebaiknya jangan ke sini saat musim hujan, karena jalanannya pasti jadi licin banget, sinar matahari gak terlalu terik, dan kemungkinan gua ditutup karena tingginya curah hujan.

Oiya meski gua Jomblang adalah tujuan saya dan teman-teman ke Yogyakarta pada akhir April, kami tetap mengunjungi beberapa tempat wisata lain. Seperti biasa, Malioboro adalah kewajiban :p.

Jadi kapan nge-trip lagi din? *anggep aja banyak yang nanya. "As soon as possible!!!'

Tuesday, 29 April 2014

Bukan Perpisahan, Hanya Akan Jarang Berjumpa

Kamis 24 April 2014, saya resmi mengundurkan diri dari salah satu media online, untuk pindah ke tempat kerja baru. Sedih? jangan ditanya, sudah pasti.

Tapi mengutip salah satu kalimat dari wong bule yang saya kirimkan di milis staff dalam email 'perpisahan' (haiyah), kita haru terus melangkah maju. Begini kira-kira kalimatya, "If you can’t fly, then run. If you can’t run, then walk. If you can’t walk, then crawl. But whatever you do, you have to moving forward."

2 tahun 6 bulan, bukan waktu sebentar. Istilahnya, setiap orang punya kisah dan kesan tersendiri di hati saya (ceileeh). Email 'perpisahan' di hari terakhir bekerja sudah jadi hal 'wajib' yang selalu dikirimkan oleh karyawan yang akan 'lulus'. Akhirnya, tiba giliran saya pada Kamis 24 April 2014 .

Setelah merangkai huruf, menjadi kata dan kalimat (halah), email 'perpisahan' saya pun mengalir ke email staff kantor. Email saya cukup ringkas, berhubung takut sedih hehehe.

Karena itu, saya tidak merinci daftar nama kawan kantor dalam email 'perpisahan' untuk bilang terimakasih atau ucapan lainnya, tapi mereka tetap ada di hati (asik). Seperti yang tertulis dalam email sakti (tsaah) itu: Terimakasih kawan-kawan untuk kisah kasih selama 2 tahun 6 bulan ini.

Kerja di tempat baru, bukan berarti berpisah. Hanya akan jaranng berjumpa.

Sampai jumpa di lain kesempatan :)

Tuesday, 8 April 2014

Jadi Ikut Coblos Nomor Berapa?

Tetiba saya mau posting soal pemilu, berhubung besok bakal rame postingan soal jari bertinta di jejaring sosial - hahaha


Ini saya dapat dari postingan salah satu teman di Path. Ada hubungan-tidaknya dengan pemilu, terserah pemikiran masing-masing

Sedikit-banyak, saya suka membaca berita politik dan mendengar langsung dari teman-teman yang kerap berurusan dengan manis- pahitnya dunia ini (apaeu).

Berbicara soal politik, tentu tak lepas dari Pemilu. Berhubung stigma negatif sudah kandung kental melekat dengan anggota legislatif kita tercinta, yang suka gak tau diri karena Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) berombongan dan seenaknya, kepercayaan rakyat pun memudar. Alhasil, lahir lah para golongan putih (golput) alias tak ikut mencoblos.

Saya mungkin salah satu yang sempat berpikir untuk golput pada tahun ini. Salah satu alasannya karena kecilnya kepercayaan terhadap 'para tikus berdasi' (ceilah) dan kurangnya informasi mengenai para anggota partai politik yang meramaikan pesta demokrasi ini.

Tapi anggota partai politik yang nantinya terpilih ini, bakal memegang peranan penting menggiring kebijakan-kebijakan krusial di Tanah Air. Terlepas dari bajingan atau tidaknya mereka. Semua orang pun pasti sudah sadar hal ini.

Buat yang memberikan suara pada Pemilu, semoga pilihan kita semua tepat. Buat yang golput, setiap orang punya hak, serta prinsip dan penilaian berbeda :)

Jadi masih mau golput atau tidak? itu terserah pilihan masing-masing. Apa pun pilihannya, toh ujung tombaknya adalah dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Kalau kata UUD Negara Repulik Indonesia 1945: Kedaulatan ada di tangan rakyat.

Semoga Indonesia selalu harum mewangi sepanjang hari. Merdeka! :)

Monday, 7 April 2014

Hati-Hati Naik Bajai!

Hati-hati naik bajai, terutama di malam hari!, harus banget waspada.

Foto: Living in Indonesia


Kenapa?
Cerita saya ini mungkin hanya salah satu pengalaman dari sekian banyak kisah lainnya (ceileh). Saya dan adik perempuan bernama Rizka, kemungkinan hampir menjadi korban perampokan atau kejahatan lain di dalam bajai. Kok bisa?

Kisah ini berawal dari (macam prolog ftv hahaha) saya dan Rizka pulang dari rumah mak tuo kami yang ada di kawasan Rawasari, Jakarta Pusat, sekitar pukul 7 malam, Senin (7/4/2014). Karena bingung naik kendaraan umum apa, kami memutuskan naik bajai menuju Stasiun Manggarai.

Akhirnya kami naik bajai oranye di depan sebuah sekolah yang tak jauh dari rumah mak tuo. Dari awal ini abang bajai udah mencurigakan. Pas kami bilang mau ke Stasiun Manggarai, dia entah bergumam apa, akhirnya bilang, ' biasanya berapa?'. Kami jawab, '20 ribu,'. Okeh si abang ini langsung setuju tanpa babibu. Oh iya sebelumnya saya lihat ada perempuan yang baru aja turun, tapi anehnya pas bajai ngelewatin si mbak ini, dia malah kembali jalan ke arah yang sama dengan kami.

Saya coba berpikir positif, mungkin si mbak itu kelewatan turunnya -__- dan mungkin nih abang emang baik hati banget, Rp20 ribu langsung mau.

Oh iya, sebelum bajai melaju dan waktu itu lagi gerimis, si abang ini bilang tutupan bajainya diturunin aja, supaya kalau hujan gak basah. Saya tolak dengan alasan 'gak usah bang, gerah dari tadi jalan'. Oke bajai pun melaju.

Tiba-tiba dipertengahan jalan:
Abang bajai: mbak yang di sebelah kiri (saya) tasnya di kedalemin aja
Saya: (ikutin kata si abang), emang kenapa bang?
Abang bajai: biar aman aja.

Tiba-tiba bajai yang tadinya jalan kencang, melaju pelan. Nah di sini saya makin curiga, apalagi jalanan lancar jaya dan sepi. Sejak kapan ada sejarah, bajai mau jalan pelaaaan banget dan mepet-mepet ke pinggir kiri jalan? Gak ada, wong kalau macet aja mereka pengennya buru-buru.

Saya dan Rizka yang mulai sadar ada keanehan, saling pandang. Saya udah deg-degan dan tangan gemeteran. Karena nih abang masih aja jalan mepet-mepek ke kiri dan pelan kayak keong, saya bilang 'bang yang cepetan ya jalannya, soalnya saya ngejar kereta nih. Nanti ketinggalan'. Nih abang cuman jawab pelan banget, 'iya', tapi bajai masih kayak keong dan tetap dipinggir kiri jalan.

Okeh makin gak bener nih abang. Saya ulangin lagi bilang bajainya agak ngebut dengan alasan yang sama. Tapi nih orang teteeep aja gak berubah. Sampai akhirnya saya dan Rizka udah takut banget dan makin deg-degan, kebetulan saya lihat ada salah satu toko jaringan peritel waralaba (gak usah sebut merek hehehe) di depan kami.

Saya: bang kita turun di disini aja deh
Abang bajai kampret ini: ............ (diem aja)
Rizka: Iya bang, kita di halte busway aja (kebetulan di deket toko itu ada halte busway)
Abang bajai yang bisa banget bikin orang kesel ini tetep diem
Saya sambil buka pintu bajai: bang saya bilang saya mau turun di sini, sekarang! (okeh, ini pake teriak kenceng banget ngomongnya)
Suara saya yang kenceng ini menarik perhatian dua bapak-bapak di depan toko tersebut, dan sukses membuat bajai berhenti. Baru nih abang bajai buka suara, 'busway kan masih di depan?'. Saya jawab, 'gak usah di sini aja," sambil ngasih ongkos.

Daaan usut punya usut, kata Rizka, si abang bajai itu ngarahin kaca spion kirinya ke dalam bajai. Terus, dia sering banget ngeliatin kita berdua. Si pria bajai ini, waktu saya kasih ongkos, mukanya keliatan canggung macam orang kegep bohong!

Ditengah kelegaan kami akhirnya bisa keluar dari bajai itu, adik saya nyeletuk 'ah gue nggak akan lagi deh naik bajai. Daripada taxi ama bajai, mending naik angkot, kereta, transjakarta, sekalian. Ketauan rame di dalamnya'.

Mungkin ada yang mikir, kita berdua terlalu hiperbola. Atau mungkin aja tuh si supir bajai emang gitu bawaannya. Tapi sejak kapan coba, ada bajai yang jalannya pelan banget dan mepet-mepet di kiri jalan saat jalanan sepi. Padahal waktu itu dia bisa banget ngebut (yang ini suka bikin deg-degan), seperti para supir bajai biasanya.Atau seenggaknya jalan sewajarnya aja. Macet aja, mereka pengennya ngebut terus.

Eits, tapi jangan disalah artikan semua supir bajai itu suka ngibulin orang. Ada kok yang baik, karena saya juga sering naik bajai. Ini saya lagi sial aja dan berharap kejadian kayak ini gak kejadian lagi. Amin.

Entah naik kendaraan umum atau pribadi, kita harus selalu waspada. Walau ada orang yang bilang: Ah gue sih gak takut, tinggal teriak aja atau gue kan jago bela diri. Percaya deh, di saat-saat bahaya, apa pun bisa terjadi dan kadang di luar kontrol kita. Kalau lagi beruntung, ya selamat, tapi kalau nggak,  ya mau gimana (jangan sampe ini si).

Jadi waspada selalu, terutama kita - para perempuan :)

Sunday, 2 February 2014

Akhirnya, Negeri di Atas Awan

 Sunrise di puncak Sikunir

 Ketemu juga sama Dieng!

Setelah sekian lama ngiler ngeliat foto-foto dan baca cerita soal Dieng, akhirnya saya sampai juga di kawasan dataran tinggi Pulau Jawa tersebut. Bersama 5 teman dan 1 kekasih (aciyee), saya memanfaatkan liburan Tahun Baru China di penghujung Januari 2014. Sempet was-was karena lagi musim hujan, tapi berbekal niat yang teramat sangat, kami optimis alam akan berbaik hati.

Berbekal googling dan tanya sana-sini, perjalanan menuju Dieng di mulai 30 Januari sore dari Depok. Ada dua pilihan transportasi umum ke Dieng yaitu bus dan kereta api.  Untuk kereta api, bisa ambil jurusan Yogyakarta atau Purwokerto, ini stasiun terdekat menuju Dieng karena stasiun Wonosobo udah gak aktif.

Lanjuuut, kami memutuskan berangkat ke Dieng menggunakan bus Sinar Jaya jurusan Depok-Wonosobo, dengan jadwal keberangkatan terakhir jam setengah lima, sore, tapi ngaret satu jam zzzz.

Oh iya buat yang mau ke Dieng, bus Sinar Jaya  gak cuman ada di Depok kok, misalnya, dari Terminal Kampung Rambutan. Kalau di Depok, tiketnya bisa dipesan dari pagi, jaga-jaga gak keabisan hehehe. Cukup Rp80 ribu, bus pun melaju mengantarkan kami menuju Dieng lewat jalur Bandung.

Perjalanan di bus memakan waktu cukup lamaaaa banget -,-, karena musim hujan yang membuat jalanan macet. Normalnya, berdasarkan cerita orang-orang yang pernah ke sana dari Jakarta atau Depok sekira 10 jam, tapi saya menikmati 14 jam di bus sodara-sodara.

Selama perjalana ke Wonosobo, bus hanya berhenti sekali yaitu saat sang supir mau makan. Lah terus kita makan gak? makan, tapi setelah abang supir kelar makan, dia langsung mengumumkan bus berangkat kembali. Jadi kami makan sengebut-ngebutnya, minumnya belakangan aja supaya nasi dan lauk abis hahahaha.

Berdasarkan informasi dari mbah Google, ke Dieng gak mesti turun di terminal Wonosobo atau plaza. Untuk menghemat waktu, kami turun di pertigaan lampu merah. Saat sampai di kawasan Wonosobo, bilang aja sama supirnya 'mau ke Dieng bang, tapi turunnya di lampu merah ya jangan di terminal atau plaza'. Sayangnya, saya lupa ngeliat nama jalannya hehehe.

Turun di lampu merah ini, jadi gak perlu jauh-jauh ke terminal atau plaza wonosobo

Jam setengah delapan kami sampai di tempat pemberhentian yang dimaksud, ada tukang ojek yang menawarkan jasa menuju Dieng. Tapi buat menghemat (lagi-lagi hemat hahaha), kami naik mini bus dengan ongkos Rp15 ribu/orang. Sepanjang perjalanan menuju Dieng, mata disuguhi pemandangan yang ajiiib bener.

Supaya gak kelewatan, saya bilang ke abang supir minta turunin di pertigaan Dieng. Di pertigaan ini ada banyak homestay, salah satunya yang terkenal adalah penginapan Bu Jono, yang udah jadi langganan backpacker karena biayanya yang cukup murah. Tapi kami gak nginep di sini, karena tiga minggu sebelumnya saat ditelefon, kamarnya udah penuh semua. Ga heran, karena ada tiga tanggal merah berurutan alis libur panjang.

Kami nginep di penginapan Flamboyan, gak jauh kok dari Bu Jono. Dari pertigaan Dieng, juga kelihatan. Ada beberapa pilihan kamar dengan harga berbeda di Flamboyan. Kami dapat harga yang cukup murah dengan biaya Rp250 ribu untuk satu kamar, dua kasur, satu tv, kamar mandi di dalam, ruang tamu mini, plus WiFi gratis. Satu kamar buat berapa orang? Kata pak Arifin (penginapan Flamboyan), satu kamar bisa diisi 6 orang. Kami ber-7 dan tetap muat, tapi ada yang ngalah tidur di sofa hahahaha. Buat yang tertarik nginep di sini, bisa telefon pak Arifin di 0813-2760-5040.

Penginapan Flamboyan

Setelah istirahat dan makan, perjalanan mengelilingi Dieng di mulai setelah sholat Jumat. Ada banyak tempat menarik yang harus dikunjungi, selain puncak Sikunir.
- Telaga Seleri
- Sumur Jalatunda
- Telaga Mardada
 - Kompleks Candi Dieng
- Telaga Warna
- Dieng Plateau Teather
- Bukit Batu Pandang: dari sini, kita bisa lihat telaga warna dan telaga pengilon dari atas bukit. Untuk menuju Bukit Batu Pandang ini, kita harus ngelewatin jalan setapak ditengah-tengah hamparan tanaman kentang, sekira 10 menit.
-  Kawah Sikidang

Untuk menuju semua tempat di atas, bisa sewa motor atau mobil. Mengingat lagi musim hujan, kami memutuskan naik mobil dengan sewa Rp600 ribu, termasuk untuk diantar sampai Terminal Wonosobo. Etapiiii, kata teman saya, Rp600 ribu untuk sewa mobil termasuk mahal, karena dia cuman sewa mobil Rp400 ribu -okeh gagal hemat #errrr. Tapi mungkin juga karena waktu kami ke Dieng, lagi musim liburan (berbesar hati) hahaha.

Biaya wisata ke tempat-tempat tadi juga murah kok. Misalnya, Rp20 ribu untuk tiket terusan kompleks candi dan kawah Sikidang, Rp2 ribu untuk telaga warna, dan Rp3 ribu untuk Bukit Batu Pandang.

Hari pertama kami mengunjungi: Telagara Seleri, Sumur Jalatunda, Telaga Mardada, Kompleks Candi Dieng, dan Telaga Warna. Sisanya, termasuk puncak Sikunir, di hari kedua. Untuk memasuki area Sikunir, dikenakan biaya Rp4 ribu/orang.

Diringkas saja ya, kami langsung bahas perjalanan menuju puncak Sikunir. Karena mengunjungi Dieng saat musim hujan, maka kami gak dapet golden sunrise,  :(. Tapi selama perjalanan mendaki ke Sikunir, aman sodara-sodara, tak ada hujan.

Jam empat pagi kami berangkat dari penginapan menuju puncak Sikunir. Karena musim liburan dan cukup banyak kendaraan menuju tempat parkir sebelum penanjakan, kami terpaksa harus berjalan lebih jauh. Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, kami sampai di puncak Sikunir. Meski gak dapet golden sunrise, dari puncak Sikunir kami bisa melihat awan putih dengan guratan oranye yang tampak malu-malu menghiasi Gunung Sindoro. Sekira jam enam pagi, matahari mulai bersinar terang.

Setelah satu jam menikmati pemandangan cantik di depan mata, kami segera melanjutkan perjalanan ke tempat wisata lainnya. Jika saat berangkat kami gak bisa lihat pemandangan dengan jelas, berbeda saat pulang. Kita akan disuguhi pemandangan alam yang cantik.

Ini salah satu pemandangan kece saat turun dari puncak Sikunir

Setelah puas menikmati perjalanan di Dieng, beres-beres, dan makan, kami harus meninggalkan Dieng. Ingat liburan segera berakhir, Senin menyambut artinya kerja (bagi libur lagi peliiis -,-).

Berbeda dengan saat berangkat, kami memilih naik kereta api menuju Jakarta. Kami tiba di Terminal Wonosobo pukul 13.45, setelah satu jam perjalanan dari Dieng. Dari terminal, kami harus naik bus selama tiga jam dengan biaya Rp25 ribu menuju Terminal Purwokerto. Saat sampai di wilayah Purwokert dan sebelum sampai di terminal, kernet dan abang supir berbaik hati langsung menghentikan angkot yang akan menuju stasiun Purwokerto. Setelah mengucapkan terimakasih, kami segera naik angkot yang dimaksut, dengan ongkos Rp3 ribu. Saya lupa berapa lama di angkot, tapi gak lebih dari setengah jam.

Sambil menunggu kereta datang, supaya gak bosan, ada aja ulah atau cerita yang bikin perut sakit karena ketawa hahaha. Tapi intinya, kami seneeeeng banget bisa sampai di Dieng, setelah melalui berbagai kegalauan #halaaah. Perjalanan yang dimulai dari Kamis sore (30/1/2014) sampai Minggu subuh (2/2/2014) ini, berakhir dengan manis-semanis kamuuuu #sumpahgaklebay hahaha.

FYI: Berdasarkan berbagai informasi yang didapatkan dari warga Dieng, baiknya ke Dieng itu bulan Juli-Agustus. Dinginnya bakal beda sama pas musim hujan saat di puncak Sikunir, jadi lebih dingin (nah lhoo kok bisa? Ya katanya begitu, rasakan saja sendiri ya hahaha). Daaaan, kita juga bisa ngeliat kristal salju menyelimuti tanaman di Dieng.